Minggu, 14 Maret 2021

MATERI PAI KELAS 11: PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

 Bismillahirrahmannirrahim

Allhuma sholli ala sayyidina Muhammad. wa ala ali sayyidina Muhammad

PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

Allah Swt. menjadikan kita sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa bantuan orang lain. Ini artinya kita harus melakukan interaksi atau hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya tentang bagaimana kita melakukan interaksi dengan manusia yang lainnya. Tujuannya adalah agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik dan saling menguntungkan

A.    Pengertian Mu’āmalah

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
  • Menurut fiqh Islam berarti tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

  • Dalam melakukan transaksi ekonomi, Islam melarang umatnya melakukan :
1.      Cara-cara yang batil.
2.      Cara-cara ẓālim (aniaya).
3.      Permainan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
4.      Kegiatan riba.
5.      Cara-cara spekulasi/berjudi.
6.      Transaksi jual-beli barang haram.

B.     Macam-Macam Mu’āmalah
1)     b.      Khiyār
1.      Pengertian Khiyār → bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya.

2.      Macam-macam Khiyar
a)      Khiyār Majelis → selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli.
b)      Khiyār Syarat → dijadikan syarat dalam jual-beli. Penjual boleh memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya  pembelian. Jika pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu tidak ada pemiliknya dan penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali.
c)      Khiyār Aibi (cacat) → pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
c.       Ribā
1.      Pengertian Ribā → bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Ribā apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.


  • Guna menghindari riba, jika mengadakan jual-beli barang sejenis harus ditetapkan syarat, yakni sama timbangan ukurannya, dilakukan serah terima saat itu juga dan secara tunai.
  •  Jika tidak sama jenisnya, harus tetap secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.
2.      Macam-Macam Ribā
a) Ribā Faḍli → pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b) Ribā Qorḍi → pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikan. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Ribā Yādi → akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima.
d) Ribā Nasi’ah → akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.

2)      Utang-piutang → menyerahkan harta atau benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu nanti dan tidak mengubah keadaannya. Memberi utang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

a.       Rukun Utang-piutang
1.      Ada yang berpiutang dan yang berutang
2.      Ada harta atau barang
3.      Ada lafadz kesepakatan.

  • Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.
  • Jika orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.
  • Jika orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba.
3)      Sewa-menyewa → dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya, berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.

a.      Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1.      Yang menyewakan dan menyewa harus sudah ballig dan berakal sehat.
2.      Dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa
3.      Barang menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4.      Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5.      Manfaat harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak
6.      Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7.      Harga sewa dan cara pembayarannya harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.

  • Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1)      Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2)      Berapa lama masa kerja.
3)      Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya
4)      Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

C.    Syirkah

  • Secara bahasa, berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
  • Menurut istilah, artinya suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan usaha untuk memperoleh keuntungan.
a.       Rukun dan Syarat Syirkah
1. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani) harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf (pengelolaan harta).
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal yang harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3. Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat dan harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

b.      Macam-Macam Syirkah
1) Syirkah ‘inān → antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.

2) Syirkah ‘abdān → antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal). Dapat berupa kerja pikiran maupun fisik. Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.

3) Syirkah wujūh → kerja sama berdasarkan kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat, yakni antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

4) Syirkah mufāwaḍah → antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas dan boleh dipraktikkan. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya.

5) Muḍārabah → akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, jika mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola karena pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut jika itu disebabkan olehnya.

6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah
a) Musāqah → kerja sama antara pemilik kebun dan petani. Pemilik kebun menyerahkan lahannya kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
b) Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ah → kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani di mana benih tanamannya berasal dari petani.
Mukhābarah → kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.

  • Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen.
D.    Perbankan
1.      Pengertian → sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkan kembali dengan menggunakan sistem bunga.

2.      Hakikat dan tujuan  → membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga dengan imbalan bunga yang harus dibayar oleh pengguna jasa bank.

3.      Macam-macam → dilihat dari segi penerapan bunganya
a.       Bank Konvensional → fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.

b.      Bank Islam atau Bank Syari’ ah → menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya :

1) Muḍārabah →  kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.

2) Musyārakah → kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing memiliki saham. Kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama dan menanggung untung ruginya secara bersama juga.

3) Wadi’ah → jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu-waktu pemiliknya memerlukan.

4) Qarḍul hasān → pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.

5)  Murābahah → istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Bank membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun pihak bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

E.     Asuransi Syari’ah
1.      Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.

Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.

Berdasarkan ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar